Materi Kuliah Hukum Kekeluargaan Dan Kewarisan Adat

Hukum  Kekeluargaan Dan Kewarisan Adat

            Dalam materi kuliah hukum yang satu ini banyak sekali ragam pemberian materi bedasarkan SAP masing masing universitas`. Ada universitas yang mengatakan Hukum Adat Kekerabatan`, ada yang mengatakan Hukum Kekeluargaan adat`, bahkan ada juga universitas yang menggabungkan Hukum Kekeluargaan dan waris adat maupun menjadi hukum kekerabatan dan perjanjian adat`.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Kekeluargaan adat ataupun hukum kekerabatan adat ini adalah materi yang sama`, hanya saja katanya berbeda karena hukum yang satu ini sama-sama membahas tentang kekeluargaan`.
           
Daftar Isi :

Hukum Kekerabatan Adat
1.      Kedudukan pribadi
2.      Pertalian darah
a.       Kedudukan anak
b.      Kedudukan orang tua
c.       Anak dan kerabat
3.      Pertalian perkawinan
a.       Kedudukan suami istri
b.      Perkawinan Bebas
c.       Perkawinan jujur
d.      Perkawinan semanda
e.       Perkawinan Campuran
4.      Pertalian adat
a.       Anak Tiri
b.      Anak Angkat
c.       Anak Asuh
Hukum Waris adat
1.      Sistem kewarisan :
a.    Sistem kolektif
b.    Sistem mayorat
c.    Sistem individual
2.      Harta warisan dan harta peninggalan :
a.    Harta warisan berwujud benda
b.    Harta warisan  tidak berwujud benda
3.      Pewarisan




Pengertian Hukum Kekerabatan Adat
Pengertian Hukum kekerabatan adat adalah suatu  hukum adat yang mengatur mengenai bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai dalam anggota kerabat`, kedudukan anak terhadap orang tuanya dan juga sebaliknya`, kedudukan anak terhadap kerabat danjuga sebaliknya`, maupun masalah dalam perwalian anak`. Dapat pula disimpulkan`, hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak(keluarga) bedasarkan atas pertalian darah (seketurunan)`, pertalian dalam perkawinan maupun pertalian adat`.

1.      Kedudukan Pribadi
Sesungguhnya manusia pribadi itu dilahirkan ke dalam dunia mempunyai setiap nilai-nilai yang sama`, seperti halnya nyawa( hidup)`, kehormatan`, kemardekaan`, kebendaan`, dan kesejahteraan`. Tetapi dalam kehidupan masyarakat`, adat budaya maupun juga pengaruh agama yang telah dianut oleh manusia menyebabkan penilaian terhadap manusia itu tidaklah sama`.

Dalam adat budaya di minangkabau di bedakan antara beberapa tingkat dalam kemenakan`, yaitu: kemenakan di bawah lutut`, kemenakan batali budi`, kemenakan batali adat`, dan kemenakan batali darah`. Di dalam kalangan masyarakat adat lampung`, di bedakan warga/masyarakat adat kepuyimbangan ratu(tiyuh)`, kepuyimbangan bumi(marga)`, kepuyimbangan suku`, dan juga beduwa(keturunan rendah)`. Di pulau sawu juga dibedakan antara do-haba(keturunan tua)`, do-mahara (keturunan kedua) dan do-raijua) keturunan termuda)`.
Dalam agama hindu juga dibedakan antara golongan(kasta/wangsa) brahmana(keturunan pendeta)`, ksatriya(keturunan bangsawan) weisha(keturunan pengusaha)`, dan sudra (rakyat jelata)`.

Denngan adanya perbedfaan pribadi seseorang dalam suatu kehidupan masyarakat`, maka berbeda pula dalam hak dan kewajiban serta kewenangan dalam hukum adat kemasyarakatannya`. Sesudah kemardekaan telah banyak terjadi perubahan-perubahan tetapi jikalau dalam masalah menyangkut agama apa yang telah diuraikan dalam kitab suci`, maka masalah itupun menjadi peka(sensitif)`.

2.      Pertalian darah
a.       Kedudukan anak
Dalam pertalian sanak bedasar pertalian darah`, maka yang dibicarakan adalah kedudukan atas anak kandung`. Bedasrkan UU No`.1/1974 tentang kedudukan anak`, kewajiban maupun haknya atas orang tua disebutkan dalam pasal 42-43 bahwa`, anak yang dianggap sah adalah anak yang dilahirkan dalam ataupun sebagai akibat perkawinan yang sah pula`. Anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan hanyalah mempunyai suatu hubungan perdata dengan ibunya dan juga keluarga ibunya`.
Bedasarkan hukum adat anak kandung yang dianggap sah adalah anak yang dilahirkan adalah anak yang dari perkawiana ayah dan ibunya yang sah pula`, walaupun mungkin telah terjadi perkawinan itu setelah ibunya hamil lebih dulu sebelum adanya perkawinan (lampung; kapang tubas); ataupun perkawinan itu adalah kawin darurat untuk menutup malu/aib (jawa:nikah tambelan`, bugis;patongkok siri) karena yang menjadi suami juga bukan peria yang telah memberi benih`.
Di dalam adat Minahasa`,  anak yang telah lahir di luar perkawinan karena “baku piara” (sangir; nepa piara; jawa:kumpul kebo) dapat diakui oleh ayah biologisnya dengan syarat memberi “lilikur” (tanda pengakuan)`, dimana kedudukan anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya ataupun juga dengan keluarga ibunya`.
Kewajiban oleh anak menurut UU No`.1/1974 terhadap orang tuanya`, bahwa anak wajib mengormati dan menaati kehendak orang tua yang baik (pasal 46 ayat 1) dan bilamana anak telah dewasa`, maka anak wajib memelihara orang tuanya menurut kemampuannya keluarga dan orang tua dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya (pasal 46 ayat 2)`. Hal inipun selaras dengan kehidupan keluarga di dalam masyarakat yang bersifat keluarga atau parental rumah tangga di indonesia yang modern`.
Bedasarkan hukum adat di mana susunan kekerabatan yang matrilinial dan patrilinial yang masih kuat`, yang di sebut orang tua bukan saja dalam garis ke atas namun juga garis keturunan ke samping seperti para paman`, saudara ibu yang laki-laki(minangkabau semende; dayak ngaju:mama) dan garis terus ke atas`, seperti kakek`, buyut`, maupun canggah dan poyang`.
  Menurut UU No`. 1/1974 anak yang pada halnya belum mencapai umur 18 tahun atau juga belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan oleh orang tuanya (pasal 47 ayat 1)`, sedangkan yang tidak berada dalam kekuasaan orang tuanya berada di bawak kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1)`. Bedasarkan hukum adat lembaga perwalian pada dasarnya tidak ada dan juga semua anaka yang belum melangsungkan perkawinan dan juga dapat berdiri sendiri tetaplah beraa di bawah kekuasaaan orang tuanya dan kerabat bedasarkan  atas struktur adatnya masing masing`.
b.      Kedudukan orang tua`.
Bedasarkan UU No`. 1 tahun 1974 pasal 45(1-2) dituliskan bahwa Kedua orang tua wajib mendidik dan memelihara anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau juga dapat berdiri sendiri`, kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus atau terjadi perceraian`. Hal ini sejalan dengan masyarakat parental yang pada dasarnya kewajiban ayah dan ibu`, dan atau kakek dan nenek`. Lain halnya dalam masyarakat patrilinial kewajiban mendidik dan memelihara anak dibebankan tanggunawabnya untuk kerabat pihak ayah dan di dalam masyarakat matrilinial kewajiban itu dibebankan tanggung jawabnya untuk kerabat pihak wanita`.
Begitu juga dalam hal orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun luar Pengadilan pasal 47(2) bedasarkan  hukum adat disesuaikan dengan susunan kekerabatanya`. Sedangkan klausula yang memberikan pernyataan bahwa orang tua tidak boleh menggadaikan barang-barang atau memindahkan hak tetap yang dimiliki oleh anaknya yang belum berumur 18 tahun atau tidak pernah kawin`, kecuali jika kepentingan anak menghendakinya (pasal 48)`, hal mi tidak dikenal di dalam hukum adat`.
Demikian pula yang telah dinyatakan dalam pasal 49 bahwa jika salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya atas seorang anak ataupun lebih untuk waktu tertentu atas permintaan keluarga anak`, orang tua yang lain`, dalam garis lurus kc atas dan saudara kandunj yang sudah dewasa atau pejabat yang berwenang atas keputusan Pengadilan dalam hal Ia sangat  melalaikan kewajiban atas anaknya atau ia memiliki kelakuan buruk sekali`, juga tidak dikenal dalam hukum adat`.
Bedasarkan persekutuan adat kekerabatan tanggung jawab  kehidupan keluarga atau rurnah tangga adalah tanggungawab kerabat bersama`, segala sesuatunya itu diselesaikan dengan musyawarah mufakat kerabat`. Jika halnya membawa masalah kekerabatan sampai dengan ke muka pengadilan kebanyakan masih dianggap tabu`. Walaupun dalam masyarakat di kota-kota sudah ada satu atau hingga dua kasus yang terjadi sampai ke Pangadilan`.
c.       Anak dan kerabat`.
Bagaimana hubungan hukurn antara anak dan kerabat dan sebaliknya pula kerabat kepada anak kemenakan`, hal tersebut tidak diatur di dalam UU No`. l—1974`. Jadi bagairnanakah hak dan kewajiban anak terhadap kerabat dan sebaliknya juga`, masihlah tetap berlaku bedasar hukum adat di dalam lingkungan masyarakat adatnya masing-masing`.
Di dalam lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak saja wajib hormat kepada ayah dan ibu`, namun juga terutama hormat pada para paman saudara lelaki dan ayah (Batak: dongan rubu; Lampung: apak kenaman)`, baru kepada para paman saudara ibu (Batak: tulang`, hula-hula; Lampung: kelama`, lebu)`, demikian pula terhadap para paman`, suarni dan bibik saudara wanita ayah (Batak: namboru`, Lampung: apak menulung)`. dan juga terhadap paman bersaudara ibu (Larnpung: kenubi)`. Di antara sernua paman atau juga saudara tersebut yang ikut memiliki tanggungjawab penuh memperhatikan`, pengurusan dan pemeliharaan untuk kernenakan ialah kerabat lelaki saudara ayah (Batak: dongan tubu`, Lampung: apak kemanan) sedangkan yang lainnya bersifat membantu saja`.
Dalam lingkungan masyarakat matrilinial yang memiliki sifat utarna wajib dihormati anak-kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu`, terutama yang memiliki kedudukan mamak kepala waris`. Hal yang mana bukan berarti bahwa kernenakan tidak wajib hormnat kepada “bako-baki” (kerabat ayah) sebagai “ anak pisang”`, maupun juga atas para suami dan saudara ibu yang wanita (pasumandan)`, tetapi kelompok kerabat ini bukanlah penanggung jawab penuh atas kepengurusan`, perneliharaan`, dan juga pendidikan anak kemenakan`, sebab beban tanggungjawab tersebut terdapat pada ibu dan mamak`.
Dalam lingkungan masyarakat parental`, termasuk kerabat patril inial dan atau matrilinial di rantau`, dalam halnya peranan orang tua sudah bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan dan pendidikan anak`, maka semua anak wajib menghormati kepada ayah dan ibu`. Namun penghormatan terhadap paman atau bibik dan juga pihak ayah dan atau pihak ibu sudah berkurang`. Pada kenyataannya anak kernenakan hanyalah menghormati paman atau juga bibik dan pihak ayah atau juga pihak ibunya yang banyak memberikan bantuan dan perhatian kepadanya saja`. Hal ini dikarenakan keluarga-keluarga parental sudah memiliki sifat mandiri`, yang dalam halnya berdiri di atas kaki keluarga(serumahnya) saja`.

3.      Pertalian Perkawinan`.
Terlaksananya perkawinan rnenyebabkan timbulnya hak dan kewajiban suami isteri sebagairnana telah diatur dalam UU No`. 1 tahun 1974 pasal 30-34`. Namun dalam hukum perkawinan nasional tersebut tidak mengatur bahwa halnya dengan adanya perkawinan bukan saja timbul suatu hubungan hukum antara suarni isteri dengan anak-anak dan juga maupun harta perkawinan`, melainkan juga timbulnya hubungan suatu hukum kekerabatan`, antara menantu dan mertua`, hubungan periparan dan besanan dan antara kerabat yang satu  dan kerabat yang lain`.

a.       Kedudukan suami dan istri`.
Suami dan juga isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang telah rnenjadi sendi dasar susunan masyarakat`. Hak maupun kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan seorang suarni di dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersarna di dalam masyarakat`. Masing-masing pihak memiliki hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum`. Suami adalah sebagai Kepala Keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga bedasarkan dalam UU No`. 1 tahun 1974 pasal 30-31`.
Selanjutnya telah dikatakan di dalam UU No`. 1 tahun 1974 bahwa suarni isteri wajib saling cinta-mencintai`, hormat-rnenghormati`, setia dan memberikan bantuan baik lahir maupun batin satu kepada yang lain`. Suami berkewajiban melindungi isteri dan juga memberikan segala sesuatu keperluan hidup dalam berumah tangga sesuai dengan kernampuannya`. sedangkan isteri berkewajiban mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya`.
b.      Perkawinan Bebas`.
Pengertian Perkawinan Bebas`, bilamana ikatan perkawinan pada suami dan isteri dalam bentuk perkawinan bebas yang seringkali berlaku dikalangan masyarakat parental yang mana banyak terlihat dalam keluarga-keluarga Jawa ataupun keluarga-keluarga modern yang bersifat individual`, apapun yang berupa type ideal dan bentuk rumah tangga maupun perkawinan yang dikehendaki dalam perundangan nasional itu tidak banyak menimbulkan suatu masalah`. Namun kehidupan yang bersifat mandiri dengan masing-masing suami dan isteri memiliki hak melakukan perbuatan hukum itu tidak sesuai dengan kehidupan rumah tangga yang ikatan perkawinannya di dalam bentuk perkawinan jujur dan atau pada bentuk perkawinan semanda tersebut`.
c.       Perkawinan Jujur`.
Pengertian Perkawinan jujur adalah bentuk perkawinan dengan pemberian uang jujur yang pelaksanaannya dari pihak kerabat pria untuk pihak kerabat wanita yang kebanyakan telah dipertahankan dalam masyarakat kekerabatan adat patrilinial`, dalam rangka mempertahankan garis keturunan lelaki`, maka sesudah perkawinan isteri melepaskan atas kedudukan kewargaan adatnya maupun kekerabatan bapaknya lalu masuk ke dalam kekerabatan suaminya`. (Lampung`, Nusa Tenggara Timur`, Bali`,Batak`, Maluku dan Irian Jaya)`.
Dalam penerapan ikatan perkawinan jujur ini untuk kewajiban memikul tanggung jawab dalam menegakkan rumah tangga ialah suami`, sedangkan isteri hanyalah sebagai pendampingnya`. sehingga hak maupun kedudukan isteri tidaklah seirnbang dengan hak maupun kedudukan suarni`, hak maupun kedudukan isteri dibatasi atas hak dan kedudukan suami`, baik atas kehidupan rumah tangga dan atas kehidupan bersama di dalam kekerabatan dan juga masyarakat`. Isteri tidaklah bebas melakukan suatu perbuatan hukum tanpa seizin suami`, oleh karena suami merupakan Kepala Keluarga maupun kepala rumah tangga dengan isteri berperan sebagai pembantunya`.
Tetapi tidak berarti suami bisa berbuat dengan sekehendak hatinya kepada isteri`, tanpa saling cinta`, hormat menghormati`, setia`, dan saling membantu antara suami dan juga isteri maupun antara kerabat yang satu dan kerabat yang lain`.
d.      Perkawinan Semanda`.
Pengertian Perkawinan Semanda ini adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur`, yang mana kebanyakan dipertahankan oleh masyarakat dalam kekerabatan matrilinial`, untuk memperahankan garis keturunan wanita (Sernende`,Minangkabau`, Lampung Pesisir`, Bengkulu)  
Dalam penerapannya setelah perkawinan si suami masuk ke dalam kekerabatan isteri ataupun hanya sebagai pemberi benih keturunan`, yang tidak memiliki tanggung jawab penuh dalarn rurnah tangga`. Dalam sistem ini hak beserta kedudukan suami berada di bawah pengaruh isteri dan anggota kerabatnya`.
e.       Perkawinan Campuran
Pengertian Perkawinan Campuran Adalah perkawinan yang terjadi antara istri dan suami yang memiliki perbedaan adat`, budaya`, suku`, dan agajma yang di miliki`.

4.      Pertalian Adat
Di dalarn pertalian sanak berdasarkan atas pertalian adat`, maka yang terutama dibahas adalah mengenai hubungan hukum antara “anak angkat”`. termasuk mengenai anak tiri`, anak akuan atau anak asuh`. Terjadinya suatu pengangkatan anak yaitu dikarenakan tidak memiliki keturunan atau penerus keturunan`.
Perlindungan atas anak sudah diatur oleh UU No`. 4 tahun 1979 yang telah diberlakukan sejak tanggal 23 Juni 1979 (Ln`. 1979-32)`. Undang-Undang mengenai Kesejahteraan Anak itu memuat 5 bab dan 16 pasal`. Bab I mengenai Ketentuan Urnurn`, Bab II mengenai Hak Anak`, Bab III mengenai Tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak`. Bab IV mengenai usaha kesejahteraan anak`, Bab V Ketentuan mengenai Peralihan dan Penutup`.
Dalarn UU ini yang di artikan dengan Anak adalah Anak Yatim`, Anak Terlantar`, Anak Tidak Mampu`, Anak  cacat dan Anak berkelakuan menyimpang`.

a.       Anak Tiri
Pengertian Anak tiri yaitu anak kandung bawaan isteri janda atau bawaan suarni atau duda yang telah mengikat tali perkawinan`. Di dalam perkawinan leviraat (Batak: pareakhon`, niangabia; Karo; lakoman`, Lampung: Nyikok`, Sumatera Selatan: semalang`, anggau`,) jika isteri kawin dengan saudara suami`, anak tiri tetap berkeudukan sebagai anak dan bapak biologisnya`. Begitu juga jikalau teijadi kawin duda yang sudah rnempunyai anak`, dengan saudara isteri`, yang disebut kawin sororat (Lampung: nungkat`, nuket; Batak: singkat rere`, ganchihabu; Jawa: karang wulu)`. Kedudukan hukum anak tetap sebagai anak dari ayah biologis`. Dalam masyarakat Jawa yang parental pun seperti itu`, anak tiri ialah ahli waris dari orang tua biologisnya`. Kecuali anak-anak tiri itu telah diangkat oleh bapak tiri untuk sebagai penerus keturunannya dikarenakan ia tidak memiliki anak`.
Di Rejang Bengkulu anak tiri bisa diangkat oleh seorang suami yang tidak memiliki keturunan anak kandung`, untuk menjadi waris penerus dalam keturunannya (Rejang: mulang jurat)`, sesudah ayah kandung si anak meninggal dunia`. Dengan telah diangkatnya anak tiri itu maka terjalinlah suatu hubungan hukum antara anak tiri dengan bapak tiri tersebut sebagaimana anak kandung dengan bapak kandungnya/biologis`. Dalam Pengangkatan anak tiri untuk menjadi anak angkat oleh seorang bapak yang telah putus keturunan (Lampung: niupus`, Rejang: putus jurai`,) di adat Lampung harus dilaksanakan dengan melaksanakan upacara adat`, terang di hadapan prowatin (para pemuka adatnya)`. Di dalam kalangan masyarakat Dayak Maanyan disebut ngukup anak`.
b.      Anak Angkat
Pengertian anak angkat dapat dilihat sebagai berikut
Kedudukan atas anak angkat bisa dibedakan antara anak angkat sebagai penerus dalam keturunan (Larnpung: tegak tegi)`, anak angkat adat karena perkawinan atau juga untuk penghormatan`.
Di Lampung anak orang lain yang telah diangkat menjadi tegak biasanya itu diambil dari anak yang masih memiliki tali kerabat dengan bapak angkat`. Jika anak angkat itu menjadi penerus dalam keturunan dengan mengawinkannya dengan anak wanita kandung bapak angkat dalam masyarakat Bali disebut “nyentane” dan anak angkat tersebut telah menjadi “sentane tarikan” yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung juga`.
Di dalam adat Lampung jika suami adalah orang luar ia dapat diangkat oleh kerabat lelaki dalam pihak ibu (kelama) dan jika isteri yang adalah orang luar maka ia bisa diangkat oleh saudara wanita maupun bapak (menulung) atau juga yang bersaudara ibu (kenubi)`. Anak angkat di karenakan perkawinan ini di lakukan karena hanya untuk memenuhi syarat dalam perkawinan adat`, pengangkatan tersebut tidak menyebabkan pada si anak angkat menjadi waris maupun ayah angkatnya`, namun hanya mendapatkan kedudukan dalam kewargaan adat atas kesatuan kekerabatan yang bersangkutan tersebut`.
Di sebut anak angkat adat karena suatu perkawinan`, terjadi di sebabkan karena perkawinan campuran antar suku (adat) yang beda (Batak: marsileban)`. Di adat Batak jikalau suami yang telah diangkat itu orang luar maka ia akan diangkat sebagai anak maupun kerabat namboru (dalam marga penerima dara) dan juga jikalau isteri yang diangkat itu adalah orang luar maka ia juga diangkat sebagai anak tiri kerabat hula-hula (Tulang`, marga pemberi darah)`.
Di sebut anak angkat adat sebagai kehormatan`, ialah pengangkatan anak atau juga pengangkatan saudara (Lampug: adat mewari) tertentu sebagai tanda untuk penghargaan`. Semisalnya dalam mengangkat seorang pejaabat pemerintahan menjadi saudara angkat`. Selain itu termasuk juga dalam golongan anak angkat sebagai kehormatan ialah pengangkatan seorang anak karena baik budi`. Sebagairnana telah dikatakan oleh orang Minangkabau “kemenakan batali emas”; atau juga pengangkatan anak karena suatu perdamaian`, sebagai dalam penyelesai perselisihan (akibat suatu perseteruan yang panjang`, misalnya pembunuhan dan lainnya)`. Pengangkatan anak dikarenakan kehormatan ini juga tidak memiliki akibat menjadi waris maupun ayah angkat si anak`, terkecuali telah diadakan tambahan perikatan pada saat upacara adat di depan para pemuka adat yang telah dilaksanakan`.
c.       Anak Asuh
Pengertian Anak asuh yaitu anak orang lain yang telah diasuh oleh suatu keluarga`, sebagaimana halnya anak sendiri`. Hal yang termasuk dalam golongan ini ialah anak-anak yang disebut sebagai anak pancingan di karenan belum maupun tidak mempunyai anak`, anak pungut`, anak pupuan (anak pupon)`, anak piara`, di karenakan atas belas kasihan`, anak terlantar`, anak yatim piatu`, anak cacat`. anak nakal`, hingga anak titipan`. Anak-anak inipun tetap memiliki hubungan perdata dengan orang tua yang telah melahirkannya/ orang tua biologis`, dan tidak serta merta langsung menjadi warga adat dan kerabat orang tua asuhnya tersebut`, kecuali kemudian telah diangkat menjadi anak angkat`. Begitu juga untuk anak akuan (mengaku anak) di dalam suatu hubungan kekaryaan sebagai pembantu dalam rumah tangga`, pembantu pekerjaan orang tua yang telah mengakui tanpa balas suatu jasa tertentu`.
Di dalam adat Minahasa bialaman orang tua asuh`, ataupun orang tua yang telah mengaku anak memberikan hadiah (dapat berupa tanah) kepada anak akuan (parade)`, sehingga kedudukan anak itupun berubah dan anak asuh tersebut telah menjadi seperti anak kandung sendiri dan memiliki hak atas waris dari keluarga yang telah mengasuhnya tersebut`.

Hukum Waris Adat
Pengertian Hukum Waris adat adalah hukum adat yang mengatur mengenai harta warisan`, Pewaris (yang meninggalkan harta warisan)`, dan adanya Ahli wanis maupun Waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima harta warisan dari si Pewaris`.
Hukum waris adat di Indonesia di dasarkan pada pengaruh susunan kekerabatan masyarakat yang berbeda-beda`. Karena Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dalam alam pikiran masyarakat yang bersifat tradisional yang dapat di bedakan menjadi kekerabatan yang sistem keturunannya patrilinial`, matrilinial`, dan parental`. Walaupun dalam bentuk kekerabatan yang sama belum tentu juga dapat berlakunya sistem kewarisan yang sama`.

1)      Sistem Kewarisan`.
Di Indonesia terdapat tiga macam sistem kewarisan yaitu kewarisan kolektif`, kewarisan mayorat dan kewarisan individual`. Di antara ketiga sistem kewarisan tersebut dalam kenyataannya ada juga masyarakat yang menerapkan sistem kewarisan campuran`, hal ini dapat terjadi tergantung keadaan dalam kerabat masing-masing`.
a.      Sistem Kolektif`.
Pengertian sistem kewarisan kolektif adalah harta dari peninggalan si pewaris digunakan atau dimiliki secara bersama (kolektif)`.  
Bedasarkan sistem kewarisan kolektif ini para ahli waris / waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi`, melainkan diperbolehkan untuk memakai`, mengolah dan menikmati atau mengusahakan hasilnya  secara bersama (Minangkabau: ganggam bauntui)`.
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut harta pusaka`, berupa barang-barang pusaka maupun bidang tanah (pertanian)`.
Contoh :
-Minahasa terhadap tanah ‘kalakeran” yang dikuasai oleh Thu Unteranak`, Haka Umbana atau Mapontol`,
-Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dali`.
b.      Sistem Mayorat
Pengertian sistem kewarisan mayorat adalah harta pusaka yang tidaklah terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua`. Yang berarti hak pakai`, hak mengulah hingga memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya kepada anak tertua dengan hak dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita hingga mereka dapat berdiri sendiri`.
Contoh :
-Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan di kuasai oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang sebagai “mayorat pria”`.
-Di daerah Semendo Sumatera Selatan`, seluruh harta peninggalan atau warisan dikuasai oleh anak wanita yang di sebut sebagai “tunggu tubang” (penunggu harta) didampingi oleh “payung jurai”`, sebagai “mayorat wanita’’`.
c.       Sistem Individual`.
Pengertian dari sistem kewarisan Individual adalah dalam harta warisan adanya suatu pembagian dan juga dapat dimiliki secara perorangan dengan adanya hak milik`, yang berarti setiap waris berhak mengulah`, memakai dan menikmati hasilnya maupun dapat mentransaksikannya`, terutama jika setelah si Pewans wafat`.
Sistem kewarisan ini yang kebanyakan berlaku di kalangan masyarakat parental`, dan berlaku pula dalam hukum waris barat yang telah diatur dalam KUH Perdata`.


2)      Harta Warisan dan Harta Peninggalan
Harta warisan adalah harta kekayaan pewaris yang akan dibagi-bagikan kepada para waris`, sedangkan Harta Peninggalan adalah harta kekayaan pewaris yang penerusannya tidak terbagi-bagi`.
Harta warisan atau harta peninggalan terdiri atas:
a.      Harta warisan berwujud benda
Harta warisan yang berwujud benda semisalnya berupa bidang tanah`, bangunan rumah`, senjata dll baik yang berasal dan benda pusaka`.
b.      Harta Warisan tidak berwujud benda
Harta warisan tidak berwujud benda semisalnya berupa kedudukan atau jabatan adat`, gelar (adat)`, hutang`, dan perjanjian`.


3)      Pewarisan`.
Pewarisan merupakan proses penerusan harta peninggalan / warisan dari si pewaris kepada para warisnya`.
Dalam sistem pewarisan dan harta peninggalannya`, dapat dibedakan antara sistem penerusan kolektif dan juga mayorat pada masyarakat yang kekerabatannya bersifat patrilinial maupun matrilinial terhadap harta pusaka`, dan penerusan yang individual pada masyarakat yang mana kekeluargaannya bersifat parental terhadap harta yang bukanlah harta pusaka`, namun berupa harta pencarian (disebut harta bersama) orang tua saja`.
Di dalam perkembangannya dikarenakan terbatasnya suatu harta pusaka`, sedangkan para waris kian bertambah banyak`, maka sistem pewarisan yang bersifat kolektif dan mayorat berangsur-angsur telah mengikuti jejak masyarakat yang bersifat parental dengan sistem pewarisan yang besifat individual`.
Setelah si Pewanis wafat maka harta warisannya haruslah dibagi-bagikan kepada para waris atas dasar hak waris dan juga kasih sayang`. Namun jika anak-anak yang berhak mewarisi belum mampu untuk menguasai dan memiliki bagian warisannya`. dikarenakan masih kecil yang dapat dikatakan masih tidak mampu akal pikirannya`, atau ahli waris bersangkutan belum dapat hadir pada waktu pembagian warisan akan dilakukan`, maka orang tua ahli waris  yang masih hidup tetap menguasai harta warisan itu untuk kepentingan atas para ahli waris anak-anaknya`.
Jika terjadi suatu perselisihan/permasalahan dalam pembagian warisan di antara Para waris/ahli waris`, maka penyelesaian perselisihan dilakukan dengan upaya rukun dan damai dalam hubungan kekeluargaan yang tujuannya untuk menjaga agar perjalanan arwah atau si pewaris di alam baka tenang dan tidak terganggu oleh persengketaan para waris yang telah ditinggalkannya`.

Sekian, Materi Kuliah Hukum  Kekeluargaan Dan Kewarisan Adat

Source
Daftar pustaka:
Prof`. H`. Hilman Hadikusuma`, SH : Pengantar Hukum Adat Indonesia
Soerjono Soekanto :Hukum Adat Indonesia
Tolib Setiady`, SH`, M`.Pd`.`, MH : Intisasi Hukum Adat Indonesia
Jacobus Ranjabar SH`, M`.Si : Sistem Sosial Budaya Indonesia

www.matericenter.com

Subscribe to receive free email updates:

5 Responses to "Materi Kuliah Hukum Kekeluargaan Dan Kewarisan Adat"

  1. Ane baru tau klo masalah perkawinan jujur dan kawan2ny gan hahhaa.. Dtempat ane sih ad kek seserahan gtu.. Apa itu bisa termasum perkawinan jujur?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Termasuk jika dalam artian pemberian jujurnya dilakukan oleh pihak laki2 ke pihak perempuan

      Delete
  2. Makasih infonya ^^ bermanfaat banget ^^

    ReplyDelete
  3. mantap infonya gan buat orang awam kayak saya :)

    ReplyDelete

Berkomentarlah dengan baik dan sopan, berkomentar dengan link dalam bentuk apapun tidak dibenarkan,...
Terima kasih telah berkunjung... :)